Sejarah perkembangan Gereja Maruniyah

Para pengikut Yesus Kristus pertama kali disebut "orang Kristian" di Antiokhia (Kisah Para Rasul 11:26), dan kota itu menjadi pusat agama Kristian - terutama sesudah kehancuran Yerusalem pada 70 Masihi. Menurut tradisi Katolik, Uskup Antiokhia pertama adalah Santo Petrus sebelum perjalanannya ke Roma. Uskup Antiokhia ketiga adalah Sang Bapa Apostolik Ignatius dari Antiokhia. Antiokhia menjadi salah satu dari lima kebatrikan perdana (pentarki) setelah Agama Kristian diakui oleh Maharaja Konstantinus.

Marun, seorang rahib abad ke-4 yang sezaman dan sahabat St. Yohanes Krisostomus pindah dari Antiokhia ke Sungai Orontes untuk menjalani hidup sebagai seorang pertapa mengikut teladan Antonius Agung dari gurun dan Pakomius. Banyak pengikutnya juga menjalani hidup kebiaraan. Setelah kematian Marun pada 410 Masihi, murid-muridnya mendirikan sebuah biara untuk mengenangnya dan membentuk cikal bakal Gereja Maruniyah.

Para pengikut Marun berpegang teguh pada ajaran Konsili Kalsedon pada 451 Masihi. Ketika kaum monofisit Antiokhia membantai 350 rahib, kaum Maruniyah mengungsi ke pergunungan Lubnan. Surat-menyurat sehubungan dengan peristiwa tersebut menghasilkan pengakuan kepausan dan ortodoksi atas kaum Maruniyah, yang dikukuhkan oleh Paus Hormisdas (514-523 Masihi) pada 10 Februari 518 Masihi. Sebuah biara dibangun di sekitar makam St. Marun sesudah Konsili Kalsedon.[3]

Kemartiran Patriark Antiokhia pada dasawarsa pertama abad ke-7 baik oleh serdadu Persia ataupun kaum Yahudi setempat,[4] membuat kaum Maruniyah kehilangan pemimpin. Keadaan ini berkepanjangan akibat Perang Bizantin–Sassanid pada 602–628 yang terakhir dan terparah. Seusai perang, Maharaja Heraclius mengedepankan sebuah doktrin kristologi baru sebagai upaya menyatukan berbagai Gereja Kristian di Timur. Ajaran ini, yakni monotelitisme, dimaksudkan sebagai semacam kompromi antara para pendukung Kalsedon, seperti kaum Maruniyah, dengan lawan-lawannya, seperti kaum Yakobit. Ajaran baru ini justru menimbulkan pertentangan yang lebih besar lagi, dan dinyatakan sebagai bidaah oleh konsili ekumenis ke-6 pada 680-681. Meskipun demikian, sumber-sumber Yunani dan Arab sezaman mendakwa bahawa kaum Maruniyah menerima monotelitisme, menolak konsili ke-6 dan terus berpegang pada ajaran sesat itu dan baru melepaskannya pada zaman perang salib agar tidak dicap sesat oleh para tentara salib. Gereja Maruniyah modern menolak anggapan bahawa kaum Maruniyah pernah menjadi penganut monotelitisme, dan persoalan tersebut masih dipertentangkan sampai hari ini.[5]

Pada 687 Masihi, Maharaja Justinianus II menyetujui rancangan memindahkan ribuan kaum Maruniyah dari Lubnan untuk ditempatkan di kawasan lain. Timbullah kekacauan dan ketakutan yang mendorong kaum Maruniyah pada tahun itu juga memilih batrik pertama mereka, Yuhanna Marun. Oleh kerana itu, ketika Islam mulai tampak di perbatasan Empayar Bizantium dan baris depan yang padu dibutuhkan untk menahan infiltrasi Islam, kaum Maruniyah justru sibuk mempertahankan kebebasan mereka dari kekuasaan kekaisaran. Keadaan ini dialami pula oleh masyarakat-masyarakat Kristian lainnya dalam Empayar Bizantium, sehingga mempermudah penaklukan kaum Muslim atas belahan Timur dunia Kristian di penghujung abad itu.

Zaman pemerintahan Muslim

Setelah tunduk di bawah pemerintahan Arab usai penaklukan kaum Muslim atas Suriah, hubungan baik kaum Maruniyah dengan Empayar Bizantium mulai pulih. Dewan kekaisaran, belajar dari kesalahan masa lalu, melihat mengambil keuntungan dari situasi tersebut. Kerana itu Maharaja Bizantium Constantinus IV memberi dukungan langsung kepada kaum Maruniyah baik dalam bidang gerejawi, politik, dan ketenteraan. Persekutuan baru ini segera mengatur serangan-serangan mematikan terhadap bala tentara Muslim, memberi kelegaan yang disambut gembira oleh umat Kristian yang terkepung di seluruh Timur Tengah. Pada masa itu sebagian kaum Maruniyah dipindahkan ke Gunung Lubnan dan membentuk beberapa paguyuban yang kemudian dikenal sebagai kaum Marada. Ini adalah menurut pandangan Batrik Maruniyah abad ke-17 Estephan El Douaihy (juga dikenal sebagai Istifan Al Duwayhi, أسطفان الدويهي, "Bapak Sejarah Maruniyah" dan "Soko guru Gereja Maruniyah").

Pandangan lain dikemukakan oleh Ibn al-Qilaii, seorang sarjana Maruniyah abad ke-16, yang mengatakan bahawa umat Maruniyah mengungsi dari penindasan Kekhalifahan Umayyah pada akhir abad ke-9 Masihi.

Teori yang paling umum dikemukakan oleh Sergius dari Tirus, seorang sarjana abad ke-10 Masihi, adalah bahwasanya umat Maruniyah melarikan diri berlindung dari keganasan kaum Yakobit monofisit kerana anutan monotelitisme mereka dianggap bidaah oleh kaum Yakobit. Teori ini lebih dapat dipercaya, kerana hampir semua masyarakat Kristian menganut monotelitisme sesudah diperkenalkan oleh Patriark Sergius I. Migrasi umat Maruniyah ke wilayah pergunungan berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, tetapi kemuncaknya diketahui pasti terjadi pada abad ke-7.

Sekitar 1017 Masihi, muncullah sebuah sekte Muslim baru yang menyebut dirinya kaum Duruzi. Umat Maruniyah pada masa ini berstatus dzimmi yang diwajibkan mengenakan jubah dan serban hitam agar mudah dikenalpasti selain juga dilarang menunggang kuda.

Rahib dan para peziarah Maruniyah di Gunung Lubnan.

Sesudan ditaklukannya belahan Timur dunia Kristian di luar Anatolia dan Eropah oleh kaum Muslim, dan ditetapkannya batas-batas kekuasaan antara para Khalifah Islam dan para Maharaja Bizantium, jarang terdengar kabar tentang umat Maruniyah selama 400 tahun. Hidup dibentengi pergunungan sampai dijumpai kembali di gunung-gunung sekitar Tripoli oleh tentara Salib Raymond dari Toulouse dalam perjalanannya menaklukkan Yerusalem pada Perang Salib Pertama. Kelak Raymond kembali untuk mengepung Tripoli setelah menaklukkan Yerusalem, dan hubungan antara umat Maruniyah dengan umat Kristian Eropah pun terjalin kembali.

Zaman perang salib

Pada penghujung abad ke-11, tatkala para tentara Salib bergerak menuju kawasan Levant untuk menumbangkan pemerintahan Islam, mereka melintasi pergunungan Lubnan dan berpapasan dengan kaum Maruniyah. Kaum Maruniyah telah hidup terpisah dari dunia Kristian selama kurang lebih 400 tahun. Gereja di Roma tidak menyangka kalau kaum Maruniyah masih eksis. Para tentara Salib dan kaum Maruniyah menjalin hubungan baik dan sejak itu saling bantu satu sama lain.

Selama perang Salib pada abad ke-12 Masihi, kaum Maruniyah membantu para tentara Salib dan meneguhkan keterikatan mereka dengan Tahta Suci pada 1182 Masihi. Mulai saat itu kaum Maruniyah tak terpisah dari ortodoksi gerejawi dan kesatuan Gereja Katolik. Sebagai tanda ikatan itu, Batrik Maruniyah Youseff Al Jirjisi menerima tajuk dan tongkat lambang kekuasaan dari Paus Paschalis II pada 1100 Masihi. Pada 1131, Batrik Maruniyah Gregorios Al-Halati menerima surat dari Paus Innosensius II yang berisi pengakuan kepausan atas otoritas Kebatrikan Maruniyah.

Dalam waktu yang lama kaum Maruniyah hidup terisolasi dari umat Kristian Empayar Bizantium dan Eropah Barat. Akibatnya mereka mengangkat batrik sendiri, mulai dari Yohanes Marun, yang sebelumnya menjabat sebagai Uskup Batroun, Gunung Lubnan. Dari dialah kaum Maruniyah sekarang ini mendakwa suksesi apostolik penuh melalui tahta keuskupan Antiokhia. Meskipun demikian, timbul kontroversi seputar dakwaan ini, mengingat bahawa sebagian kaum Maruniyah didakwa telah sepenuhnya mengadopsi bidaah monotelitisme. Kontroversi ini mengakibatkan beberapa kali terjadi perang saudara (misalnya pada 1282 dan 1499 Masihi).